Indonesia dan Jepang
tengah menjajaki kerja sama sektor
pembangkitan listrik, efisiensi energi, inovasi teknologi ramah iklim,
pemanfaatan penginderaan satelit dalam pengelolaan hutan dan gambut, dan
peningkatan kapasitas sains dan teknologi. Peluang kerja sama juga terbuka
bagi peningkatan kesiapan masyarakat dan
pemerintah daerah menghadapi bencana yang dipicu oleh perubahan iklim.
Peluang kerja sama tersebut
terungkap dalam pertemuan di bidang
Perubahan Iklim di Kementerian Luar Negeri Jepang, Tokyo, Kamis, 12 Desember
2013.
Dalam pertemuan tersebut,
Indonesia diwakili oleh Staf Khusus Presiden bidang Perubahan Iklim Agus
Purnomo bersama staf Kemenko Perekonomian. Sedang pihak Jepang diwakili oleh
Utusan Khusus Pemerintah Jepang di bidang Perubahan Iklim, Kementerian
Perdagangan dan Industri (METI), dan Kementerian Lingkungan Hidup Jepang, serta
dengan beberapa perusahaan Jepang yang berpartisipasi dalam skema Joint Carbon
Mechanism (JCM).
"Pemerintah Jepang berulang
kali menyampaikan penghargaan terhadap kerjasama JCM yang ditandatangani oleh
Menko Perekonomian Hatta Rajasa dan Menteri Luar Negeri Jepang bulan Agustus
tahun ini.," kata Agus Purnomo, Staf Khusus Presiden bidang Perubahan Iklim,
melalui pesan tertulisnya Jumat, 13 Desember 2013.
Pemerintah Jepang juga memberikan
klarifikasi mengenai inisiatif Actions for Cool Earth (ACE) yang diumumkan bulan
November lalu di Warsawa.
Terkait kerjasama Joint Carbon
Mechanism (JCM), Joint Committee kedua negara bertemu di Jakarta bulan November
lalu,
Pemerintah Jepang membuat
keputusan pendanaan bagi lima proyek percontohan JCM, yang melibatkan empat
perusahaan Jepang yaitu Sharp, Yokogawa,
Mitsubishi UFI, dan Marubeni. Dana tersebut nantinya akan dimanfaatkan bagi
kebutuhan pengaturan CCS (ypengambilan minyak dari sumur-sumur tua atau yang
dikenal sebagai EOR/enhanced oil recovery),
dan Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD)
di Indonesia.
Menurut Agus, dalam upaya
percepatan realisasi kerjsama di bidang perubahan iklim dengan Pemerintah
Jepang tersebut, diperlukan sejumlah kebijakan meliputi:
1. Penerbitan Peraturan
Presiden/Menteri yang berhubungan dengan kegiatan pengumpulan dan penyimpanan
(gas) karbon dioksida di dalam lapisan
tanah, yang dikenal sebagai Carbon Capture and Storage (CCS).
Persyaratan kegiatan CCS dalam
upaya EOR perlu diatur agar gas karbon dioksida tersimpan secara permanen di
lapisan tanah kedap gas, sehingga upaya CCS tersebut dapat menerima kompensasi
sebagai kegiatan mitigasi perubahan iklim.
2. Penerbitan Peraturan Presiden/Menteri yang berhubungan dengan
persyaratan dan bagi hasil kegiatan pengurangan emisi dari lahan hutan dan
gambut, yang dikenal sebagai Reducing Emissions from Deforestation and Forest
Degradation (REDD).
Investor Jepang yang telah
menyelesaikan studi kelayakan program REDD+ di Kalimantan Tengah menanti
kejelasan pengaturan bagi hasil antara pemerintah pusat, pemerintah daerah,
masyarakat lokal dan investor.
3. Pembahasan kerjasama ekonomi Indonesia –
Jepang dengan pendanaan yang bersumber dari ODA (loan), misalnya investasi
untuk pembangunan Mass Rapid Transportation (MRT) di Jakarta dan Kereta Api
Cepat lintas propinsi di Jawa, dapat memanfaatkan fasilitas pendanaan Actions
for Cool Earth (ACE).
Penggabungan fasilitas pendanaan
ini dapat mengurangi biaya modal (pinjaman) pada program pembangunan ekonomi
yang bersahabat dengan lingkungan (iklim).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar