Beberapa hari belakangan ini saya menemukan beberapa diskusi di social media terkait program “tol laut” yang diutarakan oleh salah satu capres ketika acara debat 15 Juni kemarin. Namun sayangnya sebagian besar yang membahas ini tidak terlalu tahu apa itu program “tol laut”, sehingga isi dari diskusinya jauh dari pembahasan esensi program, tapi hanya jadi debat dua kubu pendukung capres.
Jujur saja, saya bukan pendukung salah satu capres.
Dan saya juga tidak tertarik untuk berbicara politik dan berdebat mana capres yang lebih baik. Saya tidak peduli siapa yang menyebutkan program “tol laut ” ini untuk dijadikan salah satu program unggulan atau media kampanyenya. Tapi ketika esensi program ini menjadi blur hanya karena perdebatan antara dua kubu, saya jadi agak gatel untuk mencoba memberi penjelasan dari sudut pandang saya.
“Tol laut” yang disebutkan salah satu capres, rasanya tidak lain dan tidak bukan adalah program Pendulum Nusantara yang dicetuskan oleh perusahaan tempat saya bekerja, melalui CEO kami, R.J. Lino. Dan kalau memang benar tol laut = pendulum nusantara, berarti ini bukanlah sebuah ide baru dari salah satu capres, melainkan sebuah program yang inisiasinya sudah lebih dari setahun yang lalu dan saat ini sedang dalam proses pelaksanaan. Nah, kali ini saya akan mencoba memberi sedikit pemahaman tentang program yang disebut salah satu capres dengan istilah “tol laut” itu. Oiya, satu yang pasti, istilah tol laut bukanlah membangun jalan tol di atas laut ya! hehe..
Apa sih biaya logistik itu? Kenapa disebut biaya logistik Indonesia tinggi?
Sebelum menjelaskan tentang Pendulum Nusantara, ada baiknya saya beri sedikit gambaran tentang latar belakang program tersebut dicetuskan.
Mungkin sebagian dari anda pernah dengar, atau bahkan mungkin mengalaminya, bahwa beberapa barang tertentu di Indonesia bagian timur harganya jauh lebih mahal dibanding daerah di Indonesia bagian barat. Misalnya harga semen di Pulau Jawa sekitar Rp 70 ribu, tapi di Papua malah mungkin mencapai Rp 1 juta. Atau mungkin beberapa harga bahan pokok, yang memperlihatkan sebuah ketimpangan. Di bawah ini ada sedikit perbandingan data tentang ongkos kirim satu kontainer dari Jakarta ke beberapa kota. Dapat dilihat bahwa ongkos kirim ke Hamburg yang jaraknya 11.000 km ternyata lebih murah daripada ke Padang yang jaraknya hanya 1.000 km.
Ongkos yang mahal inilah yang akhirnya menyebabkan harga barang menjadi lebih tinggi daripada seharusnya. Inilah yang disebut biaya logistik, dan kenyataannya biaya logistik nasional itu memang tinggi. Kenapa ini bisa terjadi? Penyebabnya sangat banyak, bisa jadi satu tesis sendiri untuk membahasnya.hehe.
Nah, mari kita fokus kenapa harga barang di Indonesia bagian timur lebih mahal ketimbang di bagian barat. Coba perhatikan peta arus perdagangan domestik di bawah ini, ketebalan garis mencerminkan magnitude perdagangan. Dapat dilihat bahwa arus perdagangan di Indonesia ternyata sangat timpang, dominan di bagian barat, dan sangat kecil di bagian timur, seperti Papua, Maluku, dsb.
Kondisi geografis di Indonesia mungkin salah satu yang paling unik di dunia, karena terdiri dari banyak pulau. Untuk mengangkut suatu barang dari satu tempat ke tempat lain, tentunya akan menjadi bergantung terhadap transportasi laut, karena transportasi laut ini memang yang paling murah dalam pengangkutan barang. Ga mungkin kan ngangkut semen dari Jakarta ke Ambon make pesawat terbang? hehe. (eh, bisa aja sih, pake pesawat Hercules, kalau lagi ada bencana. heu )
Nah, dalam prosesnya, pengangkutan barang ini sudah memiliki jalurnya sendiri.
Mirip seperti jalur bus atau angkot. Saya analogikan sebagai berikut:
Sebuah bus jurusan Jakarta-Cirebon, akan mulai berangkat dari Jakarta mengangkut penumpang dan kemudian berhenti di stasiun akhir di Cirebon. Setelah berhenti di Cirebon, bus yang sama tersebut tentunya akan mulai jalan kembali, dengan jalur yang terbalik, menjadi Cirebon-Jakarta. Pengusaha bus akan untung besar apabila dari satu bus ini berhasil mengangkut banyak penumpang, baik ketika berangkat dari Jakarta, ataupun ketika jalan lagi dari Cirebon. Lalu bagaimana jika ketika dari Jakarta cukup banyak penumpang, tapi saat berangkat dari Cirebon malah ga ada penumpang yang ikut? Tentunya bus tersebut bisa merugi. Lalu kemudian cara agar tidak merugi salah satunya adalah dengan menaikan harga tiket.
Nah, analogi di atas sama dengan sistem transportasi barang. Sebuah kapal berangkat dari Pelabuhan Tanjung Priok menuju Pelabuhan Sorong (Papua) mengangkut berbagai macam kebutuhan pokok, kapal terisi penuh. Tapi ketika sudah sampai di Papua dan akan kembali lagi, ternyata tidak ada atau sangat sedikit barang yang diangkut kapal tersebut. Alhasil, pengusaha kapal pun merugi, sehingga satu-satunya jalan agar tidak merugi adalah menaikan ongkos angkut barangnya. Ketika ongkos angkut barang dinaikan, tentunya akan mengakibatkan harga barang yang dikirim tersebut menjadi lebih mahal ketika dijual. Itulah kenapa akhirnya harga barang-barang di Papua atau daerah timur lainnya menjadi lebih mahal.
Pertanyaan berikutnya adalah, kenapa bisa tidak ada barang lagi yang diangkut oleh kapal dari Papua? Hal ini terjadi karena hampir tidak ada industri disana. Disana memang memiliki beberapa pertambangan, tapi hasil-hasil tambang tersebut jarang dikirim melalui pelabuhan umum. Bahkan tambang seperti Freeport sudah memiliki terminal dan kapal sendiri untuk mengangkut emas-emas yang dihasilkan dari tanah Papua untuk dilarikan langsung ke luar negeri.
Karena tidak ada jumlah barang yang setimpal yang bisa diangkut kembali dari Papua menuju tempat asal kapal tersebut berasal, maka seperti yang terlihat di gambar di atas, flow perdagangan ke Indonesia timur menjadi jauh lebih kecil.
Lalu apa sih Pendulum Nusantara itu?
Dalam bahasa sederhananya, Pendulum Nusantara adalah sebuah sistem transportasi barang dengan menggunakan kapal ukuran besar (kapasitas 3000-4000 TEU) yang melewati sebuah jalur laut utama dari ujung barat hingga ujung timur Indonesia secara rutin. Karena pola gerakannya dari barat ke timur dan kemudian berbalik timur ke barat (seperti gerakan sebuah pendulum ketika digoyangkan), maka program ini disebut Pendulum Nusantara.
Tujuan dari program ini sendiri adalah agar terjadi sebuah efisiensi transportasi barang sehingga menurunkan biaya logistik nasional dan pada akhirnya mendorong tumbuhnya industri dan terjadinya pemerataan ekonomi, khususnya untuk Indonesia bagian timur. Skema pengembangannya dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Di dalam jalur laut utama tersebut, akan ada 5 pelabuhan utama yang akan disinggahi oleh kapal-kapal tersebut, yaitu Belawan (Medan), Tanjung Priok (Jakarta), Tanjung Perak (Surabaya), Makassar dan Sorong (Papua). Lima pelabuhan ini juga berfungsi sebagai titik simpul atau hub regional bagi daerah di sekitarnya (disebut dengan loop). Barang-barang akan dikirim ke pelabuhan di sekitarnya menggunakan kapal yang lebih kecil.
Sesederhana itukah?
Tentu saja tidak. Kenyataannya, cukup banyak hambatan untuk bisa menerapkan program ini. Salah satunya adalah masalah infrastruktur. Tdak semua pelabuhan dapat mengakomodir kapal berukuran 3000-4000 TEU. Perlu adanya pembenahan infrastruktur atau bahkan pembangunan baru di tiap pelabuhan utama. Untuk hal ini, empat BUMN yang bergerak di bidang operator pelabuhan yaitu Pelindo I, III, IV dan IPC, telah berkomitmen untuk membenahi infrastruktur melalui pembentukan anak perusahaan gabungan PT. Terminal Petikemas Indonesia (TPI). PT. TPI ini yang nantinya akan menjadi operator di lima pelabuhan utama dalam jalur Pendulum Nusantara dan bertanggung jawab dalam standarisasi infrastruktur di tiap pelabuhan tersebut.
Nah, masalah berikutnya adalah kapal. Apakah perusahaan pelayaran di Indonesia memiliki kapal ukuran 3000-4000 TEU? Atau bila harus beli, sanggupkah mereka? Ada opini yang mengatakan bahwa bisa saja BUMN di bidang pelayaran, PT.Pelni, akan didorong sebagai operator shipping untuk Pendulum Nusantara ini. Terkait hal ini, saya tidak bisa memberi penjelasan, karena sudah bukan bidang saya. hehe.
Jadi, program ini memang tidak sederhana. Banyak hal yang harus dibenahi. Tapi bila melihat capaian bila program ini berhasil, rasanya sah-sah saja bila saat ini semua pihak yang berkepentingan mengeluarkan usaha yang keras untuk mewujudkan program ini.
Ship follow the trade atau trade follow the ship?
Dalam dunia shipping dan logistics, ada istilah: “Ship follow the trade”, yang maksudnya adalah kapal atau jalur pelayaran dan infrastruktur pendukung logistik seperti pelabuhan, jalan, dsb, akan ada ketika di tempat tersebut telah ada industri yang dibangun. Jadi, harus ada industri dulu, baru kapal akan datang. Kalau diibaratkan dalam transportasi darat, misalnya: ITB telah membangun kampus baru di Jatinangor, karena hal tersebut maka dibuatlah sebuah trayek baru bus DAMRI dari ITB di jalan Ganesha langsung ke Jatinangor untuk mengangkut para mahasiswa tersebut.
Nah, teori ini tentunya sah-sah saja. Lalu bagaimana bila teorinya dibalik? Pemda Bandung ternyata membuat trayek baru Ganesha-Jatinangor terlebih dahulu, walaupun mungkin tidak ada anak ITB yang bakal naik trayek tersebut, alhasil mungkin saat awal trayek itu jalan, penumpangnya sangat sedikit atau bahkan malah tidak ada. Nah, pihak ITB setelah melihat ada sebuah peluang trayek baru tersebut menjadi timbul inisiatif untuk membangun sebuah kampus baru di Jatinangor. Mungkinkah kasus ini terjadi? Tentu saja mungkin.
Begitu pula dalam hal shipping dan logistics, teori “trade follow the ship” tentunya bisa terjadi. Nah, program Pendulum Nusantara ini justru seperti mengaplikasikan teori tersebut. Mereka membangun jalurnya terlebih dahulu, tanpa perlu tahu apakah akan ada industri baru yang dibangun di Papua, Maluku, dsb atau tidak. Setelah jalur tersebut berjalan, diharapkan justru mendorong para investor untuk berinvestasi membangun industri di daerah-daerah tersebut.
Tentunya konsep ini memang beresiko, itulah mengapa tidak sedikit pihak yang menyangsikan konsep Pendulum Nusantara. Pihak-pihak tersebut beranggapan bahwa lebih baik bangun dulu industri di Papua dan sebagainya, maka jalur transportasi akan ada dengan sendirinya. Namun bila prinsip ini tetap dianut, berarti kita hanya bisa menunggu pemerintah atau investor untuk membangun industri. Lalu pertanyaannya, sampai kapan kita menunggu? Sampai Papua akhirnya memerdekakan diri?
Meminjam perkataan Dirut saya, “Kerjakanlah apa yang menjadi bagian kamu dengan sebaik-baiknya terlebih dahulu. Setelah itu, baru kita dorong pihak lain untuk mengerjakan bagian mereka juga dengan sebaik-baiknya”. Intinya, kami dari pihak kepelabuhanan dan shipping berusaha mengerjakan bagian kami dengan membuat program Pendulum Nusantara ini. Dengan harapan dapat membantu mengurai permasalahan biaya logistik Indonesia yang tinggi. Sambil berharap juga dapat mendorong tumbuhnya industri baru dan terjadinya pemerataan ekonomi.
Mengapa ada opini sumbang?
Bila anda mencari di om google dengan kata kunci “Pendulum Nusantara”, anda tidak hanya menemukan berita-berita positif, tapi ada juga berita yang isinya justru menganggap ini adalah sebuah solusi yang tidak efektif. Kebanyakan berita tersebut berasal dari salah satu pihak, yang notabene juga memiliki peran dalam rantai logistik di Indonesia.
Untuk hal ini, saya mau sedikit memberi analogi. Anggaplah anda mengidap sebuah penyakit yang jarang terjadi, bahkan satu-satunya di desa anda. Dan seluruh desa belum tahu obatnya apa. Lalu tiba-tiba ada orang yang tidak anda kenal datang dan memberi sebuah obat. Orang tersebut memberi penjelasan bahwa obat tersebut dapat menyembuhkan penyakit anda, dan pernah sukses dicoba di desa lain. Nah, apakah anda akan meminum obat tersebut?
Tentu saja anda akan mikir-mikir dulu. Dan sah-sah saja bila anda menolak obat tersebut. Bila anda tahu tentang bidang farmasi, anda bisa meneliti tentang obat tersebut. Tapi bila tidak, anda hanya punya dua pilihan: mencobanya dengan resiko sembuh dan tidak atau menolaknya sambil menunggu penyakit anda menggerogoti tubuh anda. Anda pilih yang mana? Kalau saya jadi anda, tentu saja saya akan mencoba obat tersebut. :)
Kesimpulan
Terlepas dari program ini menjadi salah satu media kampanye dari salah satu capres, menurut saya Pendulum Nusantara merupakan salah satu solusi efektif untuk mengurai permasalahan dunia maritim dan logistik di Indonesia yang saat ini keadaanya cukup ruwet.
Meskipun dari kecil kita sering dinyanyikan lagu Nenek Moyangku Seorang Pelaut dan selalu diajarkan tentang kondisi geografis kita yang dua per tiganya lautan, nyatanya sistem transportasi laut dan bahkan bidang maritim kita masih amburadul. Kita jauh tertinggal dari negara-negara lain yang justru memiliki laut yang tidak lebih luas dari kita. Bahkan laut yang seharusnya menjadi sumber kekayaan dan kesejahteraan kita, malah seakan-akan menjadi biang keladi kesengsaraan bangsa kita.
Rasanya sudah seharusnya kita kembali ke ranah asal kita, lebih bersahabat dengan laut. Manfaatkan laut sebagai modal utama untuk mensejahterakan bangsa kita. Dosen saya pernah berkata: “Ketika SD kita pernah diajarkan bahwa Indonesia adalah negara kepulauan dengan memiliki 17 ribu pulau yang DIPISAHKAN oleh LAUTAN. Seharusnya kita diajarkan bahwa Indonesia memiliki 17 ribu pulau yang DIHUBUNGKAN oleh LAUTAN”.
Ya, sudah seharusnya paradigma bangsa Indonesia diubah, LAUT bukanlah PEMISAH tapi justru PENGHUBUNG!<>
Delft, 20 Juni 2014
*Note: semua data di tulisan ini dapat dipertanggungjawabkan, bersumber dari IPC (PT. Pelabuhan Indonesia II)
** Sumber http://unalux.wordpress.com/2014/06/20/apa-sih-pendulum-nusantara-itu/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar