Meski hidup susah, anak mereka cerdas. Nilai di kampus paling tinggi. Dan berpidato di muka mahasiswa dan profesor. Terperanjatlah Supriyanto. Sehari-hari bekerja sebagai buruh tani,
sungguh tak mengira putrinya berdiri di sana. Di atas panggung. Di
podium. Menghadap ribuan orang yang tekun mendengar. Cobalah katakan,
hati orang tua mana yang tidak terharu dirubung bahagia semanis itu?
Dan
hari itu, takdir seperti sedang mengayun Supriyanto ke langit.
Lihatlah dia sehari-hari. Mencangkul tanah demi dapur mengepul. Susah
payah mengongkosi anak sekolah, dan hari itulah puncaknya: menyaksikan
si bungsu berpidato di muka ribuan mahasisiswa, orang tua, para profesor
dan doktor.
Angga Dwi Tuti Lestari, nama si bungsu berusia 22
tahun itu. Di atas panggung Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo
itu, dia tidak terlihat tenang. Wisudawati dari dari Jurusan Biologi,
Fakultas MIPA itu menyampaikan ucapan terima kasih kepada para dosen,
Dekanat, Universitas dan semua pihak yang hadir di situ.
Angga
masih di panggung, lalu bicaralah Ari Handono Ramelan. Dia adalah
professor yang menjadi sebagai dekan di situ. Sesudah menyampaikan
terima kasih, Handono lalu mengisahkan soal Angga. Mahasiswi Jurusan
Biologi Fakultas MIPA itu memperoleh nilai terbaik. Indeks Prestasi
Kumulatif (IPK) nyaris sempurna: 3.98. Luar biasa.
Dan inilah
yang membuat si Buruh Tani Supriyanto itu kian terkejut. Sang dekan
meminta kedua orang tua Angga berdiri. Sedikit gemetar dia berdiri. Juga
istrinya Sugiyanti. Tepuk tangan panjang membahana.
Supriyanto
dan istrinya sungguh terkejut, sebab tidak ada pemberitahuan dari
universitas bahwa Angga menjadi wisudawan terbaik. Mereka tak mampu
menahan haru. Di tengah tepuk tangan yang membahana keduanya menangis
tersedu. Melihat orang tuanya menangis bahagia, di atas panggung, Angga
juga ikut menangis terharu.
Usai acara, Supriyanto mendatangi
Angga. Ia berkata kepada anaknya: “Kalau bapak tahu kamu jadi lulusan
terbaik, bapak akan pakai baju yang lebih baik,” ujarnya seperti yang
dituturkan ulang oleh Angga pada Dream.co.id dengan suara tercekat, Sabtu 10 Januari 2014.
***
Cerita
si Angga dari Solo itu bukan satu-satunya kisah tentang orang-orang
kecil yang bersinar. Di sekitar kita banyak kisah seperti ini. Anak
pengemis yang menjadi “raja” di kelas, anak tukang becak yang sukses
menjadi sarjana, bahkan melalang buana ke manca Negara.
Bacalah
kisah Zumrotul Choiriyah. Putri dari seorang ayah yang sehari-hari hidup
dari berburu belut. Mencangkul hidup dengan cara seperti itu, Zumrotil
dibesarkan jauh dari layak, tapi disirami kasih sayang tak terkira.
Rumah mereka reyot. Tapi kakinya ringan ke sekolah.
Lepas dari
Pondok Pesantren An-Nuur, Semarang, Zum melanjutkan sekolah. Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo jadi rumah barunya menimba ilmu.
Mimpi menjadi bidan disisihkan karena tak lolos seleksi. Dia lalu
bertekun di kampus itu.
Dan tanggal 6 Agustus 2014 adalah hari
saksi kegigihan Zum. Ditemani kedua orangtuanya dalam proses wisuda, Zum
terkaget-kaget saat sang rektor menyebut namanya. Zumrotul adalah
wisudawan terbaik. Nilai IPK nyaris sempurna 3,93. Dia mengalahkan
banyak orang. Mengalahkan mereka yang “cilike ngombe susu.”
Dan
hari-hari ini, Zum mulai memetik hasil manis dari susah payahnya.
Gagal menjadi bidan, Zum yang bertekad membahagiakan keluarga ini
diterima menjadi dosen. Kini, dia tengah menyelesaikan studi S2 jurusan
Ilmu Dakwah.
Dengarlah juga kisah dari Universitas Negeri
Semarang (Unnes) ini. Berkendara seonggok becak menuju lokasi wisuda,
Raeni mungkin membuat mata yang memandang tersipu malu. Di tengah
keterbatasan ekonom, Raeni masih bersikukuh melanjutkan sekolah ke
perguruan tinggi.
Tak cukup dengan sentilan dia putri pengemudi
becak, Raeni kembali membuat wajah mahasiwa lain tertunduk. Nilai
IPK-nya nyaris sempurna. Skor 3,96 tersenyum di halaman ijazahnya. Dia
lulus dengan cum laude.
***
Kisah haru Angga, Zum dan Raeni, menegaskan bahwa uang bukanlah
satu-satunya jalan meraih sarjana. Meraih kebanggaan. Jika harus punya
uang, tentu saja tiga keluarga itu akan ngos-ngosan. Biaya sekolah kini melambung.
Tengok
saja berapa dana yang harus dikeluarkan untuk masuk perguruan tinggi
sekelas Universitas Indonesia (UI). Sebelum masuk, pelamar harus merogoh
dompet sebesar Rp 300 ribu sampai Rp 600 ribu. Itu uang pendaftaran.
Dengan uang ini, calon mahasiswa punya peluang di dua bangku pilihan
dari setiap jurusan.
Setelah lolos, ujian belum berakhir. Calon
mahasiswa harus siap dengan dana minimal Rp 5 juta hingga Rp 7 juta.
Uang pendidikan ini wajib tersedia enam bulan sekali. Untuk buruh tani
sekelas Supriyanto, dan masyarakat miskin lain di Indonesia, memikirkan
uang sekolah saja sudah pusing. Apalagi jika harus mengeluarkannya.
Indonesia
memang tak semuanya dihuni penduduk yang cukup beruntung dalam soal
kekayaan. Tengok data Badan Pusat Statistik (BPS). Lebih dari 27,7 juta
orang Indonesia hidup dalam kemiskinan. Jumlah itu sama dengan 10,96
persen total penduduk Indonesia.
Penduduk miskin daerah perkotaan
mencapai 10,36 juta orang. Sementara di desa, masih ada 17,37 juta
orang miskin. Soal taraf pendidikan, tentu tak seberuntung masyarakat
dengan penghasilan lebih baik.
Jangankan untuk sekolah di
perguruan tinggi, penduduk miskin sudah termegap-megap membiayai anaknya
sekolah di Sekolah Dasar maupun sekolah menengah. Lihat saja pengakuan
pemerintah ini. Sampai tahun 2004 masih terdapat kesenjangan yang cukup
tinggi antarkelompok masyarakat terutama penduduk kaya dan penduduk
miskin dan antara perdesaan dan perkotaan.
Sebagai gambaran,
rata-rata Angka Partisipasi Sekolah (APS), rasio penduduk yang
bersekolah, untuk kelompok usia 13–15 tahun pada tahun 2004 mencapai
83,49 persen. Dari jumlah ini, APS kelompok 20 persen terkaya sudah
mencapai 94,58 persen sementara 20 persen masyarakat termiskin baru
mencapai nilai rasio APS 70,85 persen.
Kesenjangan yang lebih
besar terjadi pada kelompok usia 16–18 tahun dengan APS kelompok terkaya
sebesar 76,08 persen.Sedangkan APS kelompok termiskin hanya 32,74
persen.
Dengan menggunakan indikator APK tampak bahwa
partisipasi pendidikan kelompok penduduk miskin juga masih jauh lebih
rendah di jenjang SMP/MTs ke atas. APK SMP/MTs untuk kelompok termiskin
baru mencapai 63,82 persen, sementara kelompok terkaya sudah hampir
mencapai 97,16 persen.
Untuk jenjang pendidikan menengah,
kesenjangan tampak sangat nyata dengan APK kelompok termiskin terbesar
27,71 persen dan APK kelompok terkaya sebesar 83,92 persen.
Belum
lagi dengan jumlah angka buta aksara penduduk usia 15 tahun ke atas
juga menunjukkan perbedaan yang signifikan yaitu sebesar 4,01 persen
untuk kelompok terkaya dan 16,9 persen untuk kelompok termiskin.
Pemerintah
mengakui keterbatasan masyarakat miskin untuk mengakses layanan
pendidikan dasar terutama disebabkan oleh tingginya beban biaya
pendidikan baik biaya langsung maupun tidak langsung.
SPP untuk
jenjang SD/MI memang telah resmi dihapuskan. Nyatanya, tetap ada
pengeluaran lain di luar iuran sekolah yang menjadi faktor penghambat
pula bagi masyarakat miskin untuk menyekolahkan anaknya.
Di
samping itu, ketersediaan fasilitas pendidikan untuk jenjang SMP/MTs ke
atas di daerah perdesaan, daerah terpencil, dan kepulauan masih
terbatas.
Beragam fakta menyesakkan dada itu memang masih terjadi
di Indonesia. Namun bukan berarti harapan putus. Masih banyak warga
miskin yang menggantungkan cita-cita setinggi langit. Setiap tahun
bahkan jumlah warga miskin yang mengenyam pendidikan tinggi pelan-pelan
bertambah.
Ditjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan punya datanya. Pada 2011, mahasiswa baru penerima Beasiswa
Pendidikan bagi Mahasiswa Berprestasi (Bidikmisi) mencapai 30 ribu di
117 perguruan tinggi.
Niat perguruan tinggi membantu warga miskin
juga terus tumbuh. Berdasarkan data Dikti, tahun 2012 tercatat ada 164
PTS yang mendaftar untuk mengikuti Bidikmisi. Jumlah penerima Bidikmisi
lebih banyak menjadi 261 PTS.
Bagi penerima beasiswa Bidikmisi
akan mendapatkan bantuan biaya hidup minimal sebesar Rp 600.000 per
bulan. Jumlah ini disesuaikan dengan indeks kemahalan tiap daerah.
Bantuan biaya hidup diberikan pada awal periode penyaluran sebesar
besarnya 3 bulan.
Selain itu, penerima Bidikmisi juga mendapatkan
bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan yang dikelola oleh Perguruan
Tinggi untuk kepentingan penerima sebanyak banyaknya Rp 400.000/bulan.
Bantuan ini dimaksudkan untuk membebaskan biaya pendidikan masing masing
Perguruan Tinggi.
Negara memang wajib mencerdaskan rakyatnya.
Dan itu sudah jadi amanat konstitusi. Tapi pintu sekolah hanya selalu
terbuka untuk kaum berpunya. Kisah Angga, Zum dan Raeni menyadarkan kita
bahwa otak itu ada di kepala, bukan pada lembaran uang. Dream.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar